KARYA ILMIAH
TINGKAT
KECERDASAN MANUSIA
Muhammad Rifki Fauzi
Kelas IX-C
SMP FK BINA
MUDA CICALENGKA
Tahun
Pelajaran 2012/2013
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kecerdasan manusia terdiri dari beberapa tahap/tingkatan. Maksud dari tema/topik
yang dibicarakan ini adalah bukan untuk membeda-bedakan manusia berdasarkan
keahlian atau tingkat kepintarannya yang biasanya membuat orang yang lebih
ahli/pintar menjadi egois atau sombong terhadap orang yang biasa-biasa saja,
akan tetapi untuk memotivasi bagi pembaca agar lebih meningkatkan keahlian dan
kemampuannya dalam bidang studi yang ditekuni dan lebih disukai supaya bisa
meraih prestasi yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Disaat sekarang ini kecerdasan
menjadi patokan dan keperluan khusus untuk bisa meraih masa depan yang lebih
baik. Tidak ada yang membedakan antara kaya dan miskin untuk bisa mendapat
kecerdasan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Karena tingkat
kecerdasan tergantung pada kemampuan masing-masing otak dan niat yang
ditanamkan dalam diri manusia. Jika kemampuan yang dimiliki terus diasah dan
berlatih dengan diiringi do’a, maka tingkat kecerdasanpun tidak menutup
kemungkinan untuk lebih tinggi.
2.
Batasan Masalah
Didalam pembuatan karya tulis ini
penulis akan membahas mengenai defenisi masing-masing Tingkat Kecerdasan. Penulis
akan membahas mengenai beberapa masalah, yaitu :
a. IQ (Intellegent
Quotient)
b. EQ (Emotional
Quotient)
c.
SQ (Spiritual Quotient)
d.
MQ (Moral Quotient)
e.
AQ (Adversity Quotient)
f.
CQ (Creativity Quotient)
BAB 2
PEMBAHASAN
Tingkat Kecerdasan Manusia
1. Intellegent
Quotient (IQ)
Menurut Marten Pali (1993), Intellegent
atau Intellegensi adalah keseluruhan kemampuan individu untuk berfikir dan
bertindak secara logis, terarah, serta mengelola dan menguasai lingkungan
secara efektif.
Kecerdasan Pikiran ini
merupakan kecerdasan yang bertumpu kemampuan otak kita untuk berpikir dalam
menyelesaikan masalah. Jika kita mengikuti Psikotes, ada banyak soal yang
menuntut kejelian pikiran kita untuk menjawabnya, misalnya soal mengenai delik
ruang seperti bentuk ruang kubus yang diputar-putar akan menjadi seperti apa.
Soal ini bertujuan untuk melihat kemampuan pikiran kita dalam menyelesaikan
suatu masalah dari berbagai sisi.
1. Umummnya
Pengukuran atau Klasifikasi IQ pada manusia adalah :
•Very Superior : 130 - ........
•Superior : 120 –129
•Bright normal : 110 –119
•Average : 90 –109
•Dull normal : 80 –89
•Borderline : 70 –79
•Mental Defective : 69 and bellow
•Very Superior : 130 - ........
•Superior : 120 –129
•Bright normal : 110 –119
•Average : 90 –109
•Dull normal : 80 –89
•Borderline : 70 –79
•Mental Defective : 69 and bellow
2. Kelemahan
IQ
Sudah
bertahun-tahun dunia akademik, dunia militer (sistem rekrutmen dan promosi
personel militer) dan dunia kerja, menggunakan IQ sebagai standar mengukur
kecerdasan seseorang. Tetapi namanya juga temuan manusia, istilah tehnis yang
berasal dari hasil kerja Alfred Binet ini
(1857 – 1911) lama kelamaan mendapat sorotan dari para ahli dan mereka mencatat
sedikitnya ada dua kelemahan (bukan kesalahan) yang menuntut untuk diperbarui,
yaitu:
a. Pemahaman Absolut terhadap Skor IQ
Menurut Steve Hallam, pendapat yang menyatakan kecerdasan manusia itu sudah seperti angka mati dan tidak bisa diubah, adalah tidak tepat. Penemuan modern menunjuk pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu hanya 42% yang dibawa dari lahir, sementara sisanya 58% merupakan hasil dari proses belajar.
b. Cakupan Kecerdasan Manusia : Kecerdasan Nalar, Matematika dan Logika
Steve Hallam sekali lagi mengatakan bahwa pandangan tersebut tidaklah tepat, sebab dewasa ini makin banyak pembuktian yang mengarah pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu bermacam-macam. Buktinya, Michael Jordan dikatakan cerdas selama berhubungan dengan bola basket. Mozart dikatakan cerdas selama berurusan dengan musik. Mike Tyson dikatakan cerdas selama berhubungan dengan ring tinju.
a. Pemahaman Absolut terhadap Skor IQ
Menurut Steve Hallam, pendapat yang menyatakan kecerdasan manusia itu sudah seperti angka mati dan tidak bisa diubah, adalah tidak tepat. Penemuan modern menunjuk pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu hanya 42% yang dibawa dari lahir, sementara sisanya 58% merupakan hasil dari proses belajar.
b. Cakupan Kecerdasan Manusia : Kecerdasan Nalar, Matematika dan Logika
Steve Hallam sekali lagi mengatakan bahwa pandangan tersebut tidaklah tepat, sebab dewasa ini makin banyak pembuktian yang mengarah pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu bermacam-macam. Buktinya, Michael Jordan dikatakan cerdas selama berhubungan dengan bola basket. Mozart dikatakan cerdas selama berurusan dengan musik. Mike Tyson dikatakan cerdas selama berhubungan dengan ring tinju.
2.
Emotional Quotient (EQ)
Disebut
juga kecerdasan Emosi. Kecerdasan Emosi ini didasarkan kepada kemampuan manusia
dalam mengelola emosi dan perasaan. Kecerdasan Emosi ini sangat berpengaruh
dalam performace dan kecakapan emosi kita dalam bekerja, dan juga kemampuan
diri kita dalam menghadapi suatu masalah. Seseorang yang memiliki Emosi yang
buruk walaupun IQ nya besar, dia akan gagal dalam hidupnya dikarenakan tidak
mampu mengontrol diri saat menghadapi suatu masalah. Kecerdasan emosi sudah
menjadi suatu tolok ukur utama yang dicari oleh perusahaan pada pegawainya dan
sering merupakan karakteristik penentu kesuksesan dalam kerja dan pembedaan
kinerja dan performace suatu karyawan. Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk
mendapatkan dan menerapkan pengetahuan dari emosi diri dan emosi orang lain
agar bisa lebih berhasil dan bisa mencapai kehidupan yang lebih memuaskan.
Dalam psikotes pun kecerdasan emosi ini sering menjadi tolak ukur utama dalam
merekrut pegawai, karena dengan kecerdasan emosi yang tinggi walaupun memiliki
IQ yang rendah cenderung perusahaan merekrut pegawai yang memiliki kecerdasan
emosi yang tinggi, karena kecerdasan IQ mudah untuk ditingkatkan dibandingkan
kecerdasan emosi.
Menurut Dr. Daniel Golemen, dalam bukunya Emotional Intelligence (1994) menyatakan bahwa “kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20% dan sisanya yang 80% ditentukan oleh serumpun faktor-faktor yang disebut Kecerdasan Emosional.” Dari nama tehnis itu ada yang berpendapat bahwa kalau IQ mengangkat fungsi pikiran, EQ mengangkat fungsi perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya menciptakan keseimbangan dalam dirinya; bisa mengusahakan kebahagian dari dalam dirinya sendiri dan bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi sesuatu yang positif dan bermanfaat Karena kecerdasan emosi ini lebih ditekankan kepada jati diri dan emosi kita. Walaupun emosi dapat dikontrol dengan mengikuti pelatihan-pelatihan seperti ESQ dan lainnya, tetapi butuh kesadaran tinggi untuk mengontrol emosi kita ini.
a. Aspek EQ (menurut Salovely & Goldman) ada 5:
1.Kemampuan mengenal diri (kesadaran diri).
2.Kemampuan mengelola emosi (penguasaan diri).
3.Kemampuan memotivasi diri.
4.Kemampuan mengendalikan emosi orang lain.
5.Kemampuan berhubungan dengan orang lain (empati).
b. EQ Tinggi adalah :
•Berempati
•Mangungkapkan dan memahami perasaan.
•Mengendalikan amarah.
•Kemandirian.
•Kemampuan menyesuaikan diri.
•Disukai
•Kemampuan memecahkan masalah antar pribadi.
Menurut Dr. Daniel Golemen, dalam bukunya Emotional Intelligence (1994) menyatakan bahwa “kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20% dan sisanya yang 80% ditentukan oleh serumpun faktor-faktor yang disebut Kecerdasan Emosional.” Dari nama tehnis itu ada yang berpendapat bahwa kalau IQ mengangkat fungsi pikiran, EQ mengangkat fungsi perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya menciptakan keseimbangan dalam dirinya; bisa mengusahakan kebahagian dari dalam dirinya sendiri dan bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi sesuatu yang positif dan bermanfaat Karena kecerdasan emosi ini lebih ditekankan kepada jati diri dan emosi kita. Walaupun emosi dapat dikontrol dengan mengikuti pelatihan-pelatihan seperti ESQ dan lainnya, tetapi butuh kesadaran tinggi untuk mengontrol emosi kita ini.
a. Aspek EQ (menurut Salovely & Goldman) ada 5:
1.Kemampuan mengenal diri (kesadaran diri).
2.Kemampuan mengelola emosi (penguasaan diri).
3.Kemampuan memotivasi diri.
4.Kemampuan mengendalikan emosi orang lain.
5.Kemampuan berhubungan dengan orang lain (empati).
b. EQ Tinggi adalah :
•Berempati
•Mangungkapkan dan memahami perasaan.
•Mengendalikan amarah.
•Kemandirian.
•Kemampuan menyesuaikan diri.
•Disukai
•Kemampuan memecahkan masalah antar pribadi.
3. Spiritual
Qoutient (SQ)
Kecerdasan Spiritual ini berkaitan dengan keyakinan kita kepada Tuhan. Kecerdasan ini muncul apabila kita benar-benar yakin atas segala ciptaan-Nya dan segala kuasanya kepada manusia (bukan atheis).
Menurut Agus N. Germanto (2001), Spiritual adalah inti dari pusat diri sendiri. Kecerdasan spiritual adalah sumber yang ilhami, menyemangati dan mengikat diri seseorang kepada nilai-nilai kebenaran tanpa batas waktu.
Danah Zohar, penggagas istilah tehnis
SQ (Kecerdasan Spiritual) dikatakan bahwa kalau IQ bekerja untuk melihat ke
luar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang di dalam (telinga perasaan),
maka SQ (spiritual quotient) menunjuk pada kondisi ‘pusat-diri’ (Danah Zohar & Ian Marshall: SQ The
Ultimate Intelligence: 2001). Kecerdasan ini adalah kecerdasan yang
mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan
dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini.
Kecerdasan ini bukan kecerdasan agama dalam versi yang dibatasi oleh
kepentingan-pengertian manusia dan sudah menjadi ter-kavling-kavling sedemikian
rupa. Kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa. Orang yang
ber – SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif
pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan
memberi makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan
perbuatan dan tindakan yang positif.
Terdapat
3 Prinsip Utama bagi orang yang spiritualnya tinggi, yaitu; Prinsip Kebenaran,
Prinsip Keadilan, & Prinsip Kebaikan.
Ciri – Ciri SQ Tinggi :
1. Memiliki prinsip dan visi yang kuat.
2. Mampu melihat kesatuan dalam keanekaragaman.
3. Mampu mengelola dan bertahan dalam kesulitan dan penderitaan.
4. Mampu memaknai setiap sisi kehidupan.
Ciri – Ciri SQ Tinggi :
1. Memiliki prinsip dan visi yang kuat.
2. Mampu melihat kesatuan dalam keanekaragaman.
3. Mampu mengelola dan bertahan dalam kesulitan dan penderitaan.
4. Mampu memaknai setiap sisi kehidupan.
4. Moral
Quotient (MQ)
Nilai, filosofi, dan kumpulan kecerdasan moral memiliki pengaruh yang sangat penting terhadap bisnis. Hal tersebut merupakan dasar dari visi, tujuan, dan budaya organisasi. Tantangan dari kecerdasan moral bukan hanya untuk mengetahui yang benar dan yang salah, namun juga untuk berbuat serta melakukan tindakan yang benar.Pada segolongan populasi manusia terdapat sekelompok manusia dengan jumlah presentase yang kecil menderita, mengalami sakit jiwa ataupun terkucil. Kelompok ini kemungkinan tidak “mengerti” yang benar dan yang salah.Mengapa kita tidak lebih sering melakukan tindakan yang tepat? Kebanyakan orang melakukan tindakan yang tepat kadang-kadang saja. Bertindak atas setiap keputusan yang kita buat setiap hari, mempertimbangkan apa yang “benar”, apa yang lebih baik dan dapat membantu komunitas kita, organisasi, dan orang lain. Namun kita tidak selalu setuju dengan apa yang benar.
Dalam hal ini nilai dan filosofi turut berperan. Penilaian kita menjadi dasar dalam percaya dan menentukan tindakan. Filosofi merupakan jalan bagi kita untuk menentukan nilai. Filosofi yang cerdas merupakan keinginan untuk memahami manusia, benda, dan dunia melalui rangkaian kata yang menggambarkan bagaimana mereka bekerja dengan demikian menyediakan suatu keamanan emosional dalam meramalkan masa depan. Manusia dengan filosofi mempercayakan pada logika dalam membuat keputusan, dan menaksirkan harga dari sesuatu melawan “kode” yang mendasar atau mengatur garis pedoman yang menyebabkan ketegangan. Manusia dengan pandangan ini mempercayakan pada kesadaran persaingan, terkadang pada wewenang sosial yang terpisah. Anda mungkin pernah mendengar perkataan seseorang dengan filosofi yang cerdas, contohnya: “jika anda memiliki solusi yang luwes, orang lain akan mempercayainya. Tidak perlu mencoba untuk meyakinkan mereka mengenai kebaikannya.” Mereka dapat menggunakan sebuah gaya kemimpinan, jika visi yang digambarkan menjadi penyebab yang baik di masa depan.
Dalam hipotesa penelitian ini ditemukan bahwa terdapat hal lebih mendasar dari kemampuan kecerdasan emosional.Hal tersebut tampak semacam kompas moral.Hal tersebut merupakan jantung dari kesuksesan bisnis yang berjalan lama.“Sesuatu yang lebih” ini dinamakan kecerdasan moral (moral intelligence). Kecerdasan moral merupakan kapasitas mental untuk menentukan bagaimana prinsip umum manusia yang harus digunakan pada nilai, tujuan, dan tindakan. Istilah yang mudah, kecerdasan moral merupakan kemampuan untuk membedakan yang benar dari yang salah seperti yang didefinisikan oleh prinsip umum. Prinsip umum merupakan kepercayaan mengenai tingkah laku manusia secara umum pada seluruh budaya di dunia.
Kecerdasan moral bukan hanya penting untuk mengefektifkan kepemimpinan, namun juga merupakan “pusat kecerdasan” bagi seluruh manusia. Mengapa? Karena kecerdasan moral secara langsung mendasari kecerdasan manusia untuk berbuat sesuatu yang berguna. Kecerdasan moral memberikan hidup manusia memiliki tujuan. Tanpa kecerdasan moral, kita tidak dapat berbuat sesuatu dan peristiwa-peristiwa yang menjadi pengalaman jadi tidak berarti. Tanpa kecerdasan moral kita tidak akan tahu mengapa pekerjaan yang kita lakukan? Dan apa yang harus dikerjakan?
5.
Adversity Quotient (AQ)
Ketika akhirnya Thomas Alva Edison (1847 - 1931) berhasil menemukan baterai yang ringan dan tahan lama, dia telah melewati 50.000 percobaan dan bekerja selama 20 tahun. Tak heran kalau ada yang bertanya, “Mr. Edison, Anda telah gagal 50.000 kali, lalu apa yang membuat Anda yakin bahwa akhirnya Anda akan berhasil?” Secara spontan Edison langsung menjawab, “Berhasil? Bukan hanya berhasil, saya telah mendapatkan banyak hasil.
Apakah adversity quotient (AQ) itu? Menurut Stoltz, AQ adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan. “AQ merupakan faktor yang dapat menentukan bagaimana, jadi atau tidaknya, serta sejauh mana sikap, kemampuan dan kinerja Anda terwujud di dunia,” tulis Stoltz. Pendek kata, orang yang memiliki AQ tinggi akan lebih mampu mewujudkan cita-citanya dibandingkan orang yang AQ-nya lebih rendah.
Untuk memberikan gambaran, Stoltz meminjam terminologi para pendaki gunung. Dalam hal ini, Stoltz membagi para pendaki gunung menjadi tiga bagian:
1. Quitter (yang menyerah). Para quitter adalah para pekerja yang sekadar untuk bertahan hidup). Mereka ini gampang putus asa dan menyerah di tengah jalan.
2. Camper (berkemah di tengah perjalanan). Para camper lebih baik, karena biasanya mereka berani melakukan pekerjaan yang berisiko, tetapi tetap mengambil risiko yang terukur dan aman. “Ngapain capek-capek” atau “segini juga udah cukup” adalah moto para campers. Orang-orang ini sekurang-kurangnya sudah merasakan tantangan, dan selangkah lebih maju dari para quitters. Sayangnya banyak potensi diri yang tidak teraktualisasikan, dan yang jelas pendakian itu sebenarnya belum selesai.
3. Climber (pendaki yang mencapai puncak). Para climber, yakni mereka, yang dengan segala keberaniannya menghadapi risiko, akan menuntaskan pekerjaannya. Mereka mampu menikmati proses menuju keberhasilan, walau mereka tahu bahwa akan banyak rintangan dan kesulitan yang menghadang. Namun, di balik kesulitan itu ia akan mendapatkan banyak kemudahan. ”Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. Dalam konteks ini, para climber dianggap memiliki AQ tinggi. Dengan kata lain, AQ membedakan antara para climber, camper, dan quitter.
Jawaban luar biasa dari pencipta lampu pijar itu menjadi salah satu contoh ekstrem seorang climber (pendaki)–yang dianggap memiliki kecerdasan mengatasi kesulitan (adversity quotient, AQ) tinggi. Terminologi AQ memang tidak sepopuler kecerdasan emosi (emotional quotient) milik Daniel Goleman, kecerdasan finansial (financial quotient) milik Robert T. Kiyosaki, atau kecerdasan eksekusi (execution quotient) karya Stephen R. Covey. AQ ternyata bukan sekadar anugerah yang bersifat given. AQ ternyata bisa dipelajari. Dengan latihan-latihan tertentu, setiap orang bisa diberi pelatihan untuk meningkatkan level AQ-nya. Manusia sejati adalah manusia yang jika menempuh perjalanan yang sulit, mereka selalu optimis; sedangkan jika mereka melewati perjalanan yang mudah mereka malah khawatir.
Dalam kehidupan nyata, hanya para climbers-lah yang akan mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan sejati. Sebuah penelitian yang dilakukan Charles Handy-seorang pengamat ekonomi kenamaan asal Inggris terhadap ratusan orang sukses di Inggris memperlihatkan bahwa mereka memiliki tiga karakter yang sama. Yaitu, pertama, mereka berdedikasi tinggi terhadap apa yang tengah dijalankannya. Dedikasi itu bisa berupa komitmen, kecintaan atau ambisi untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik. Kedua, mereka memiliki determinasi. Kemauan untuk mencapai tujuan, bekerja keras, berkeyakinan, pantang menyerah dan kemauan untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Dan ketiga, selalu berbeda dengan orang lain. Orang sukses memakai jalan, cara atau sistem bekerja yang berbeda dengan orang lain pada umumnya. Dua dari tiga karakter orang sukses yang diungkapkan Handy dalam The New Alchemist tersebut erat kaitannya dengan kemampuan seseorang dalam menghadapi tantangan.
Ketika akhirnya Thomas Alva Edison (1847 - 1931) berhasil menemukan baterai yang ringan dan tahan lama, dia telah melewati 50.000 percobaan dan bekerja selama 20 tahun. Tak heran kalau ada yang bertanya, “Mr. Edison, Anda telah gagal 50.000 kali, lalu apa yang membuat Anda yakin bahwa akhirnya Anda akan berhasil?” Secara spontan Edison langsung menjawab, “Berhasil? Bukan hanya berhasil, saya telah mendapatkan banyak hasil.
Apakah adversity quotient (AQ) itu? Menurut Stoltz, AQ adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan. “AQ merupakan faktor yang dapat menentukan bagaimana, jadi atau tidaknya, serta sejauh mana sikap, kemampuan dan kinerja Anda terwujud di dunia,” tulis Stoltz. Pendek kata, orang yang memiliki AQ tinggi akan lebih mampu mewujudkan cita-citanya dibandingkan orang yang AQ-nya lebih rendah.
Untuk memberikan gambaran, Stoltz meminjam terminologi para pendaki gunung. Dalam hal ini, Stoltz membagi para pendaki gunung menjadi tiga bagian:
1. Quitter (yang menyerah). Para quitter adalah para pekerja yang sekadar untuk bertahan hidup). Mereka ini gampang putus asa dan menyerah di tengah jalan.
2. Camper (berkemah di tengah perjalanan). Para camper lebih baik, karena biasanya mereka berani melakukan pekerjaan yang berisiko, tetapi tetap mengambil risiko yang terukur dan aman. “Ngapain capek-capek” atau “segini juga udah cukup” adalah moto para campers. Orang-orang ini sekurang-kurangnya sudah merasakan tantangan, dan selangkah lebih maju dari para quitters. Sayangnya banyak potensi diri yang tidak teraktualisasikan, dan yang jelas pendakian itu sebenarnya belum selesai.
3. Climber (pendaki yang mencapai puncak). Para climber, yakni mereka, yang dengan segala keberaniannya menghadapi risiko, akan menuntaskan pekerjaannya. Mereka mampu menikmati proses menuju keberhasilan, walau mereka tahu bahwa akan banyak rintangan dan kesulitan yang menghadang. Namun, di balik kesulitan itu ia akan mendapatkan banyak kemudahan. ”Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. Dalam konteks ini, para climber dianggap memiliki AQ tinggi. Dengan kata lain, AQ membedakan antara para climber, camper, dan quitter.
Jawaban luar biasa dari pencipta lampu pijar itu menjadi salah satu contoh ekstrem seorang climber (pendaki)–yang dianggap memiliki kecerdasan mengatasi kesulitan (adversity quotient, AQ) tinggi. Terminologi AQ memang tidak sepopuler kecerdasan emosi (emotional quotient) milik Daniel Goleman, kecerdasan finansial (financial quotient) milik Robert T. Kiyosaki, atau kecerdasan eksekusi (execution quotient) karya Stephen R. Covey. AQ ternyata bukan sekadar anugerah yang bersifat given. AQ ternyata bisa dipelajari. Dengan latihan-latihan tertentu, setiap orang bisa diberi pelatihan untuk meningkatkan level AQ-nya. Manusia sejati adalah manusia yang jika menempuh perjalanan yang sulit, mereka selalu optimis; sedangkan jika mereka melewati perjalanan yang mudah mereka malah khawatir.
Dalam kehidupan nyata, hanya para climbers-lah yang akan mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan sejati. Sebuah penelitian yang dilakukan Charles Handy-seorang pengamat ekonomi kenamaan asal Inggris terhadap ratusan orang sukses di Inggris memperlihatkan bahwa mereka memiliki tiga karakter yang sama. Yaitu, pertama, mereka berdedikasi tinggi terhadap apa yang tengah dijalankannya. Dedikasi itu bisa berupa komitmen, kecintaan atau ambisi untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik. Kedua, mereka memiliki determinasi. Kemauan untuk mencapai tujuan, bekerja keras, berkeyakinan, pantang menyerah dan kemauan untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Dan ketiga, selalu berbeda dengan orang lain. Orang sukses memakai jalan, cara atau sistem bekerja yang berbeda dengan orang lain pada umumnya. Dua dari tiga karakter orang sukses yang diungkapkan Handy dalam The New Alchemist tersebut erat kaitannya dengan kemampuan seseorang dalam menghadapi tantangan.
6.
Creativity Quotient (CQ)
Kecerdasan Kreativitas atau Creativity Quotient adalah potensi seseorng untuk memunculkan sesuatu yang penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu dan teknologi serta semua bidang dalam usaha lainnya.
a. Menurut Guil Ford, Kecerdasan Kreativitas memiliki 5 ciri:
1. Kelancaran : Kemampuan memproduksi banyak ide.
2. Keluwesan : Kemampuan untuk mengajukan bermacam-macam pendekatan dalam pemecahan masalah.
3. Keaslian : Kemampuan untuk melahirkan gagasan yang orisinil sebagai
hasil pemikiran sendiri.
4. Penguraian : Kemampuan menguraikan sesuatu secara terperinci.
5. Perumusan Kembali : Kemampuan untuk mengkaji kembali suatu persoalan melalui
4. Penguraian : Kemampuan menguraikan sesuatu secara terperinci.
5. Perumusan Kembali : Kemampuan untuk mengkaji kembali suatu persoalan melalui
cara yang berbada dengan yang sudah lazim.
b. Kreativitas terdiri dari dua unsur :
1. Kepasihan (kemampuan menghasilkan sejumlah gagasan dan ide pemecahan masalah
dengan lancar).
2. Keluwesan (Kemampuan untuk menemukan gagasan yang berbeda dan luar biasa
2. Keluwesan (Kemampuan untuk menemukan gagasan yang berbeda dan luar biasa
untuk
memecahkan suatu masalah )
c. Hambatan untuk menjadi Kreatif :
c. Hambatan untuk menjadi Kreatif :
Kebiasaan, waktu, dibanjiri masalah, tidak ada masalah,
takut gagal, kebutuhan akan sebuah jawaban sekarang, kegiatan mental yang sulit
diarahkan, tahut bersenang-senang, & kritik orang lain.
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Kecerdasan Manusia bukan hanya
dibidang belajar dan pemecahan suatu masalah dalam materi, tetapi Kecerdasan
juga berasal dari sikap dan tingkah laku kita dalam menjalani kehidupan.
Selain itu, kecerdasan yang
umumnya menentukan kesuksesan dimasa depan tidak hanya dimiliki oleh orang-orang
yang IQ nya tinggi, tetapi kesuksesan dan keberhasilan seseorang dapat diraih
jika orang tersebut memiliki beberapa macam Kecerdasan yang berhubungan dengan
tingkah laku, emosi, kreatifitas, dan kebiasaan positif yang selalu dilakukan
setiap hari.
Saran
Setelah
mengetahui kondisi Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di Indonesia, penulis
mencantumkan berbagai macam kecerdasan yang dimiliki oleh sebagian orang. Dan
sebaiknya SDM di Indonesia lebih ditingkatkan lagi untuk menunjang masa depan
yang gemilang.
Daftar Pustaka
Daniel
Jay Goleman.
1946. Author, Psychologist, and Science
Journalist The
New York Times,
Specializing in Psychology and Brain Sciences. New York, Amerika
Prof. Salovely & Goldman.1995.
Professor of Psychology and a Professor of Management and of Epidemiology and
Public Health at Yale. Emotion and Behavior Laboratory . Yale Cancer Center and
the Institution for Social and Policy Studies.
Danah
Zohar.
2004. New Age Writer, Philosopher, and
Motivational Business Speaker. Spiritual Capital: Wealth We Can Live By,
2004
Eric
Stoltz.
1961. American actor, director and producer. Some
Kind of Wonderful : Pulp Fiction, Killing Zoe, and Kicking
and Screaming.
Amerika
Robert
Toru Kiyosaki.
2001. Rich Dad, Poor Dad.
Warner
Books,
Hachette Book Group USA. Amerika Serikat.
Stephen
Richards Covey.
2012. The Seven Habits of Highly Effective People, First Things First,
Principle-Centered Leadership, The Seven Habits of Highly Effective
Families, The 8th Habit, and The Leader In
Me — How Schools and Parents Around the World Are Inspiring Greatness, One
Child at a Time. Utah
State University.
Amerika
Charles Handy. 2006. Organisational
Behaviour
and Management. "Shamrock
Organization".Doctor of
Laws.
DublinJoy Paul Guilford. 1987.Psychometric Study of Human Intelligence. Convergent and Divergent Production. Los Angeles, Amerika.